Jumat, 16 April 2010

berita pelanggaran

Kasus Prita, Tragedi Kebebasan Beropini

Para aktivis HAM melihat penahanan Prita adalah bentuk penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan aparat yang main tangkap dan menahannya begitu saja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyesalkan penahanan Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Hospital Alam Sutra.

Prita ditahan gara-gara keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tersebar di milis. Prita menyebarkan email kepada 10 orang temannya yang berisi keluhannya terhadap rumah sakit tersebut. Email tersebut kemudian menyebar luas ke mailing list. Prita keberatan dengan analisis dokter yang menyebutkan dia terkena demam berdarah.

Dia merasa ditipu karena dokter kemudian memberikan diagnosis hanya terkena virus udara. Tak hanya itu, menurut Prita dalam emailnya, dokter memberikan berbagai macam suntikan berdosis tinggi.

Merasa jengkel, Prita kemudian berniat pindah ke RS lain. Namun, dia kesulitan mendapatkan hasil laboratorium. Prita telah mengajukan keberatannya ke RS Omni Internasional dan tak mendapatkan jawabannya.

Kemudian, ia menyampaikan keluhannya itu kepada teman-temannya melalui e-mail. Pihak RS Omni Tangerang telah menjawab keluhan Prita melalui mailing list dan iklan di media massa.

Banyak kalangan ikut prihatin. Dewan Pers telah mengunjungi Prita Mulyasari (32). Namun sebaiknya diteruskan juga untuk bertemu dengan Jaksa Agung dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).

Rombongan dipimpin Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara ke LP Tangerang. Dewan pers menyampaikan simpati karena Prita mendapati kesulitan karena dituntut RS Omni menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "Padahal dia hanya menyatakan pendapatnya," kata anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi.

Prita Mulyasari ditahan sejak 13 Mei 2009 karena diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang ancaman hukumannya enam tahun.

Prita rencananya akan kembali menjalani sidang perdata pada 4 Juni mendatang setelah meminta banding atas keputusan Pengadilan Negeri Tangerang per 11 Mei 2009 yang memenangkan gugatan RS Omni.

Dewan Pers memang harus mencari kebenaran dari kasus Prita ini. Dewan Pers harus turun tangan karena Prita menyatakan pendapatnya melalui media elektronik, yang diatur dalam UU Pers.

Dalam UU Pers pasal 1 ayat 1 mengungkapkan, pers adalah wahana sosial yang mencakup menyampaikan berita, mencari, mengolah, mengumpulkan, menyimpan berita baik secara elektronik, cetak dan media lain yang tersedia. Media lain termasuk internet.

Dukungan bagi Prita juga makin meluas termasuk di situs jejaring sosial Facebook. Di sebuah grup Dukungan Bagi Ibu Prita Mulyasari, Penulis Surat Keluhan Melalui Internet Yang Dipenjara, setidaknya ada delapan ribu orang yang mendukung dan meminta Prita dibebaskan.

Selain itu, terdapat juga sebuah grup Facebook lainnya yakni, Dukung Prita Mulyasari, dukungan terus mengalir. Mulai dari kalangan yang memberikan kecaman terhadap RS Omni maupun simpati kepada Prita.

Namun dari semua komentar, yang paling banyak mendominasi adalah mempertanyakan penegakan hukum yang dilakukan aparat. Mereka menilai hukum masih belum berpihak kepada yang benar. Selain grup dukungan terhadap Prita, masih ada lagi grup yang mengecam RS Omni. Grup itu bernama "Say No To RS OMNI Internasional".

Anggota Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis, saat mengunjungi Prita, menyatakan, email yang ditulis Prita merupakan bagian hak paling asasi seorang warga negara dan manusia di sebuah negara beradab. Bannyak kalangan melihat kasus Prita bisa menjadi preseden buruk atas penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia. [E1]




Bocah Dimutilasi
Selain Ardiyansyah, Babe Juga Akui Mutilasi Adi & Arif
Jakarta - Tertangkapnya Baekuni (60) alias Babe, tersangka dalam kasus mutilasi terhadap Ardiansyah (9), menguak fakta lain. Dalam pemeriksaannya, tersangka mengakui dirinya telah membunuh 2 anak jalanan lainnya.

"Semalam dia mengakui pernah membunuh 2 anak jalanan di tahun 2007 dan 2008 silam," kata pengacara Babe, Rangga Beri Rikuser saat dihubungi, Selasa (12/1/2010).

Kedua anak malang itu diketahui bernama Adi (12) dan Arif (6). Jasad Adi ditemukan dalam 4 potongan tubuh tanpa kepala di sela-sela bus Kowanwisata dan bus Mayasari, di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur, Mei 2008 silam. Saat itu, jasad Adi ditemukan dalam kardus minuman oleh seorang warga.

Sementara Arif, dipotong menjadi 2 bagian, juga tanpa kepala. Jasadnya ditemukan warga di Pasar Kelender pada 2007 silam. Awalnya, jasad Arif diduga sebagai Asep (4), anak dari warga di Bandung, Jawa Barat.

Namun, kala itu, Asep ternyata ditemukan dalam kondisi sehat. Potongan kepala kedua bocah itu, juga dibuang di tempat sama di Kali Rawa Terate, Pulogadung, Jakarta Timur.

Rangga menjelaskan, motif pembunuhan yang dilakukan Babe terhadap kedua bocah naas itu sama dengan korban Ardiansyah. "Dia merasa kenikmatan saat menyiksa korban dan kemudian menyodominya," jelasnya.

Tidak hanya itu, kelainan seksual yang diderita oleh Babe ini akibat trauma. "Saat merantau ke Jakarta di umur 12 tahun, dia pernah disodomi juga oleh orang dewasa di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat," tandas Rangga.





RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif

Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.